Nur Hamdani, Geluti Tanaman Sayuran Hidroponik di Kampungnya

Berbekal pengalaman dari teman-temannya yang sukses menggeluti tanaman sayuran hidroponik, Nur Hamdani (34) warga Desa Bakulan, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, kini terjun menggeluti budidaya sayuran hidroponik. Di areal yang tidak begitu luas di kampung halamannya itu, sejak bulan Juni 2017 silam, Nur menanam berbagai jenis tanaman sayuran secara hidroponik. Semula, Nur bekerja membantu keluarga dan kakaknya membuat berbagai aneka kerajinan bambu.

“Saya mulai membudidayakan tanaman hidroponik saat teman-teman banyak yang berhasil. Setelah saya ikut belajar, akhirnya terjun sendiri memanfaatkan lahan di belakang rumah,” kata Nur Hamdan, Jum’at (2/3).

Diungkapkan Nur, cara bertanam hidroponik menjadi booming dan trend di sebagian masyarakat. Teknik bercocok tanam ini semakin disukai banyak kalangan. Cara bertanam hidroponik adalah cara bertanam tumbuhan menggunakan media air, nutrisi dan oksigen. “Saya membangun rumah kaca sendiri berukuran 8 x 18 meter di belakang rumah. Saya tanam berbagai jenis sayuran seperti bayam merah, pokcay, sawi dan sayuran lainnya,” ungkap Nur.

Untuk modal membuat sarana tanaman hidroponik, Nur mengaku telah menghabiskan dana sekitar Rp 60 juta. “Jika dihitung, modal itu sampai sekarang belum kembali, namun karena saya senang menggeluti budidaya tanaman hidroponik, maka perhitungan keuntungan belum saya cermati,” kata Nur yang merawat tanaman itu sendiri dengan dibantu istrinya.

Nur mencontohkan, untuk tanaman sawi, dirinya bisa menjual satu kilogram ke supermarket di Purwokerto seharga Rp 15 ribu. Kalau ada pembeli yang datang ke rumahnya, mereka bisa memilih dan memetik sendiri. Harganya hanya sekitar Rp 12 ribu. “Permintaan sayuran hidroponik sebenarnya cukup baik. Supermarket di Purwokerto dan juga permintaan beberapa hotel, tidak sanggup dicukupinya,” kata Nur.

Sistem penjualan yang dilakukan Nur dengan bergabung bersama sejumlah petani sayuran hidroponik lainnya di Purwokerto. Setelah hasil panenan dikumpulkan, barulah dikirim ke hotel atau super market yang meminta. “Untuk tanaman afkir, biasanya dijual di pasar Panican Kemangkon. Atau, saya manfaatkan sendiri untuk dijual sebagai bahan lalapan. Kebetulan, ibu saya membuka usaha kuliner makanan tahu banting. Tahu yang telah dibumbui itu, ditempatkan dalam satu wadah cobek dari tanah liat dan dilengkapi lalapan sayuran,” kata Nur.

Nur mengaku akan terus mengembangkan budidaya sayuran secara hidroponik ini. Saat ini, sudah mulai banyak pengunjung yang datang untuk membeli sayuran di kebunnya, sekaligus berfoto-foto di dalam arena kebun. Selain itu, beberapa anak-anak sekolah dasar dan taman kanak-kanak dari tetangga desanya, juga diajak ke kebun miliknya, untuk sekedar mengenal budidaya tanaman hidroponik. “Konsumen dari kalangan keluarga, sudah mulai banyak yang tahu tempat kami. Mereka datang untuk membeli sayuran hidroponik, dan beberapa diantaranya sembari menikmati makanan tahu banting,” tutur Nur.

Khusus untuk kuliner tahu banting, kata Nur, disebut demikian karena cobek yang digunakan setelah makan bisa langsung dibanting. Satu porsi tahu banting dihargai Rp 10 ribu. “Cobek yang dipakai alas tahu itu, setelah selesai untuk makan,. Bisa langsung dibanting. Hal ini dimaksudkan untuk membantu perajin gerabah cobek agar tetap laku. Kalau cobeknya dipakai lagi, nanti pedagang cobeknya tidak laku,” ujarnya setengah promosi.

Untuk menikmati kuliner ini, pengunjung juga bisa bersantai di gubug bambu di sekitar lahan budidaya tanaman hidroponik. Hamparan sawah yang hanya berjarak sekitar 10 meter dari gubug itu semakin menambah suasana alami pedesaan yang sejuk. (PI-1)

 

 

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *